Sabtu, 02 Juni 2012

Asal Usul Agama "Psychologis Evolusionistis"


PENDAHULUAN

Fenomena beragama dalam kehidupan manusia adalah fenomena yang unik, universal, dan masih penuh misteri, sekalipun hanya kepercayaan kepada yang ghaib, sacral, atau melakukan ritual dan mengalami kehidupan transdental. Ekspresi religious telah ada dikalangan masyarakat primitive maupun modern. Dalam masyarakat primitive, kehidupan beragama merupakan system social budaya, sedangkan dalam masyarakat modern, kehidupan beragama hanya salah satu aspek saja dari kehidupan sehari hari. Sungguhpun demikian, tidak ada aspek kebudayaan lain selain agama yang pengaruh dan implikasinya sangat luas terhadap kehidupan manusia. Tidak mengherankan kalau dikatakan agama mewarnai dan membentuk suatu budaya.
 Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa, atau supranatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja, dan lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya. Karenanya, keinginan, petunjuk, dan ketentuan kekuatan gaib harus dipatuhi, kalau manusia dan masyarakat ingin kehidupan ini berjalan dengan baik dan selamat.
Kepercayaan beragama yang bertolak dari kekuatan ghaib ini tampak aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam pandangan individu dan masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini ada kalau kongrit, rasional, alamiah atau terbuktik secara empiric dan ilmiah.
Namun demikian, kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya. Ketergantungan masyarakat dan individu kepada kekuatan ghaib ditemukan dari zaman purba sampai ke zaman modern ini. Kepercayaan itu diyakini kebenarannya sehingga ia menjadi kepercayaan keagamaan atau kepercayaan religious. Mengadakan upacara upacara pada momen momen tertentu seperti perkawinan, kelahiran, dan kematian, juga berlangsung dari dahulu kala sampai zaman modern ini. Upacara ini dalam agama dinamakan ibadah dan dalam antropologi agama disebut ritual.
Kepercayaan terhadap sucinya sesuatu itu dinamakan dengan mempercayai adanya sifat sacral pada sesuatu itu. Mempercayai sesuatu sebagai yang suci atau sacral juga cirri khas kehidupan beragama. Adanya aturan terhadap individu dalam kehidupan bermasyarakat, berhubungan dengan alam lingkungannya atau dalam berhubungan dengan tuhan juga ditemukan disetiap masyarat, dimana dan dikapanpun. Beragama sebagai gejala universal masyarakat manusia juga diakui oleh bergson, seorang pemikir perancis. Ia menulis bahwa kita menemukan masyarakat manusia tanpa sains, seni dan filsafat tapi tidak pernah ada masyarakat tanpa agama walaupun ia tidak menyebut contoh masyatakat yang tanpa seni dan filsafat hidup. Namun ungkapannya ini menekankan universalnya fenomena beragama dalam kehidupan masyarakat.

A.    PENGERTIAN AGAMA

Agama adalah sebuah keyakinan dan kepercayaan, sehingga sulit diukur secara tepat. Hal ini pula yang menyulitkan para ahli untuk memberikan definisi yang tepat tentang agama. Bahkan Walter Houston Clark dengan tegas mengakui bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama.
Namun pendapat ini bukan berarti bahwa agama sama sekali tak dapat dipahami melalui pendekatan definitive. Karena itu, walaupun mungkin belum disepakati semua pihak, rangkuman definisi yang dikemukakan Harun nasution[1] dapat memberi gambaran tentang pengertian agama. Beranjak dari pengertian etimologis, harun Nasution kemudian merangkum sejumlah definisi tentang agama dan merumuskan unsur-unsur penting yang terdapat di dalam agama tersebut.
Harun Nasution menurut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al din, religi (relegere, religare) dan agama. Al din (semit) berarti undang undang atau hokum. Kemudian, dalam bahasa arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Adapun dari kata religi (Latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian, relegere berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a = tak, gam = pergi mengandung arti tak pergi, tetap ditempat atau diwarisi turun temurun.
Bertitik tolak dari pengertian kata kata tersebut, menurut harun nasution, intisarinya adalah ikatan. Karena itu, agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan dimaksud berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan ghaib yang tak dapat ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari hari. Secara definitive, menurut Harun Nasution agama adalah:
a)      Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatuhi.
b)      Pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia.
c)      Mengikat diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan perbuatan manusia.
d)     Kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
e)      Suatu system tingkah laku yang berasal dari kekuatan ghaib.
f)       Pengakuan terhadap adanya kewajiban kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan ghaib.
g)      Pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
h)      Ajaran ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul. [2]

Agama sangatlah penting dalam kehidupan manusia karena ia dapat memberikan beberapa perubahan.

B.     PSIKOLOGI MANUSIA DALAM BERAGAMA

Manusia sebagai subjek dari agama sudah tentu memiliki hubungan yang erat dengan agama itu sendiri. Hubungan antara dua variable ini ada yang menyangkut masalah masalah besar, menengah, dan kecil. Meneliti hubugan masalah besar dalam kehidupan seperti hubungan agama dengan kemujuan, pembangunan atau modernisasi, agama dan kebahagiaan hidup dinamakan dengan proses grand theories. Dibawah itu, dapat pula diteliti masalah yang lebih khusus, seperti hubungan agama dengan politik, ilmu pengetahuan, seni, organisasi, yang dapat dinamakan dengan middle theories. Kemudian perhatian peneliti antropologi dapat pula ditujukan kepada fenomena yang lebih khusus atau kecil dari middle theoris dalam masyarakat, seperti fenomena meneliti music nasyid dikampus suatu universitas umum, kehidupan seksual pastur suatu gereja katolik, kehidupan spiritual para selebritis suatu kota metropolitan. Hasil penelitian atau studi tentang hal yang lebih khusus ini yang biasa dinamakan studi kasus dapat dinamakan mikro teoris.
Diantara ahli antropologi ada yang tidak setuju, antropologi ikut ikutan pula mengembangkan pengetahuan teoritis seperti ilmu alam, sosiologi, dan ilmu ekonomi sebagaimana dikemuakakan oleh geertz. Namun sebagai ilmu yang mulanya dikembangkan oleh kebudayaan modern barat, penilaian terhadap hubungan agama dan kehidupan dapat dibaca, baik secara tersurat, atau minimal secara tersirat.
Maka muncul beberapa teori asal usul agama, diantaranya adalah teori psikologis.
Sigmund freud mulanya seorang dokter medis. Ia menyaksikan banyak penyakit fisik dilatar belakangi oleh gangguan jiwa. Ia juga menulis tentang agama dan masyarakat primitive. Gangguan jiwa manusia, menurutnya, disebabkan keinginan hewani manusia yang terkumpul dalam alam bawah sadar jiwa manusia banyak yang terhalang untuk direalisasi oleh nilai nilai ideal yang berada dalam jiwa manusia yang dinamakan superego. Superego berasal dari tekanan hukum, moral, agama, dan budaya. Keinginan hewani manusia demikian mendasar , menurut freud, sehingga tampil dalam bentuk Oedipus kompleks. Dari masih kecil, anak anak sudah menaruh cemburu kepada orang tuanya yang sejenis kelamin dengan dia karena orang tuanya itu juga mencintai orang tuanya yang berlawanan jenis dengan dia sendiri. Dia juga mencintai o9ran gtuanya yan gberlawanan jenis kelamin itu oleh karena itu, anak lelaki menaruh cemburu kepada ayahnya dan anak perempuan menaruh cemburu dari kecil kepada ibunya.
Dalam bukunya totem dan taboo ia menjelaskan bahwa asal mula agama, etik, masyarakat, dan seni adalah pada Oedipus kompleks. Terpengaruh oleh data suku aborigin yang digunakan Durkheim. Freud mendasarkan teorinya pada eksogami dari suku yang bersangkutan dan binatang atau tumbuhan totem tidak boleh dinamakan kecuali dengan ritual tertentu. Dalam masyarakat yang hanya hidup dari berburu, bapak punya peran besar dan menyingkirnkan peran anak laki laki yang lain. Bapak juga memonopoli perempuan yang ada dalam sukunya. Syahdan, kata freud, pada suatu hari, anak laki laki tersingkir nekat menyembelih ayahnya dan memekan daging ayahnya itu. Kemudian timbul rasa bersalah dan berdosa yang serius dikalangan mereka. Lalu mereka berbalik menghormati, memuja, menyembah, dan memimta ampun kepada ayah tersebut. Dengan demikian, bapak yang mati akhirnya juga menjadi sangat berkuasa. Dengan kisah Oedipus kompleks inilah dimulainya kepercayaan keagamaan menurut freud. Dari seni lahir kepercayaan kepada totem, taboo, incessed, eksogami, ritual totem dalam masyarakat. Binatang totem adalah ayah itu sendiri. Lama kelamaan anggota suku biasa atau awam merasa tidak bias berhubungan dengan totem dan tuhan itu. Lalu timbul pula lembaga pemuka agama. Dalam agama Kristen tuhan anak juga memuja dan menyembah tuhan bapak karena Oedipus complex.
Namun, disamping itu, freud juga mengakui bahwa agama adalah kebutuhan psikologis manusia. Karena ketidak mampuan manusia menghadapai berbagai bencana alam, mereka buat patung atau lukisan yang menempatkan bahaya alam itu sebagai tempat pelampiasan kemarahan. Mereka juga memerlukan orang kuat untuk menhadapai semua bencana, yaitu Tuhan. Tetapi tuhan itu sebenarnya adalah orang yang paling mereka cemburui dan takuti., yaitu ayah mereka sendir. Dengan demikian, freud membuktikan kebenaran teori Oedipus complex. Dengan demikian, agama tidak lain dari an in fantile opsession (obsesi kekanak kanakan).
Cerita ini juga diterapkannya untuk agama yahudi yang berasal dari agama mesir kuno. Amenhotep adalah raja mesir yang meresmikan satu tuhan yang maha kuasa. Salah satu seorang rakyatnya yang bernama musa yang tidak mau agamanya dikotori oleh polytheisme mereka mengajak kaumnya bangsa yahudi untuk percaya kepada satu tuhan, melakukan khitan bagi laki laki, memberikan hukum hukum, dan memerintahkan menyembah tuhan aton yang maha esa. namun, diantara bangsanya ada yang keras kepala, ingkar, dan malah berusaha membunuh nabi musa dan mengembalikan agama monotheisme yahudi ke agama polytheis suku suku sebelumnya yang dinamakan dengan agama yahwe. Oleh sebab itu, nabi adalah bapak orang yahudi, dibunuh oleh para pemberontak, anak anaknya. Kemudian anak anaknya merasa berdosa dan berdamai serta menghormati bapaknya dan hukumnya. Agama yahwe mereka intergrasikan dengan agama adonai yang diajarkan musa, si bapak terbunuh. Teori ini tentu mengundang banyak kritik, suatu rekonstruksi yang didasarkan kepada khayalan, tidak kepada fakta.[3]    

C.     KESIMPULAN

Dalam menelusuri asal usul mengapa manusia beragama, kebanyakan ilmuwan social mengembalikannya kepada factor kelemahan manusia. Manusia beragama karena beberapa hal berikut. Yang pertama, karena ia tidak mampu mengatasi bencana alam dengan kemampuan sendiri. Kedua, karena ia tidak mampu melestarikan sumber daya dan keharmohisan alam, seperti tidak mampu menjamin matahari tetap bersinar dan apdi mereka tetap menjadi. Ketiga, mereka tidak mampu mengatur tindakan manusia untuk dapat hidup damai satu sama lain dalam masyarakat. Karena ketidak mampuan itulah mereka mempercayai adanya kekuatan ghaib yang maha mampu menyelamatkan atau membantu mereka. Ini berarti bahwa kepercayaan kepada kekuatan ghaib tersebut mereka buat sendiri untuk menjwab misteri kehidupan dan gejala alam.
Sehingga pada awal mula munculnya agama inilah mau tidak mau manusia harus mempercayai kepada hal yang ghaib kekuatan supernatural yang mereka harapkan dapat membantu manusia dalam menyelesaikan semua permasalahan yang tidak mampu manusia selesaikan. Inilah fitrah manusia, psikologis manusia yang selalu meminta bantuan kepada yang lebih bisa dan lebih mampu apabila ia sendiri tidak mampu melakukannya.
Wallahu a’lam.
Refrensi

Ø  Agus, Bustanuddin, Agama dalam kehidupan manusia pengantar antropologi agama, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2006
Ø  Thomas F.O’DEA,Sosiologi Agama,Suatu pengenalan Awal,Jakarta, Yayasan Solidaritas Gajah Mada,1996


[1] Harun nasution adalah seorang sarjana Indonesia yang mengikuti gerakan modern abad pertengahan dari mu’tazilah. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya diluar negeri, ia menghabiskan masa mudanya di Saudi, mesir, Eropa sampai akhirnya di Kanada. Pemikirannya sangat terpengaruh oleh mu’tazilah. Sebelum ia mengabdikan dirinya di IAIN Jakarta, ia telah menyelesaikan PhDnya di Isntitut Studi Islam di Mc Gill University selama 7 tahun.
[2] Arifin, Bambang Syamsul, Psikologi agama, Pustaka Setia, Cetakan I, Bandung, 2008
[3] Agus, Bustanuddin, Agama dalam kehidupan manusia pengantar antropologi agama, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2006


2 komentar: