Sabtu, 02 Juni 2012

Metodologi Bibel dalam Studi Al Qur'an

Bismillahirrahmanirrahim pada kesempatan ini saya ingin membuat resume buku yang berjudul metodologi bibel dalam studi al Qur’an. Buku ini berisi tentang pemaparan hujatan dan kritikan para sarjana Yahudi-Kristen terhadap Al Qur’an, yang bermula sejak 13 abad yang lalu. Hujatan dan kritikan tersebut dengan berbagai variasi argumentasi terus bergema hingga saat ini.
Dalam buku ini pada bab pertama akan mengungkap hujatan tokoh tokoh kristen terkemuka kepada al Qur’an. Hujatan tersebut yang dilontarkan sejak abad ke-8 M, muncul karena mereka meyakini bibel sebagai God’s Word. Menurut mereka, jika Al Qur’an mengkritik bibel, maka al Qur’an adalah karya setan. Bibel dijadikan tolak ukur menilai al-Qur’an. Apa saja yang bertentangan dengan bibel, maka al Qur’an yang salah.
Pada abad ke-17 M, studi kritis perjanjian baru mulai berkembang dibarat. Setelah mengkaji kritis perjanjian baru, para teolog kristen menemukan sejumlah permasalahan yang sangat mendasar. Ternyata perjanjian baru telah mengalami berbagai penyimpangan (tahrif). Akhirnya, perjanjian baru yang selama ini dijadikan textus receptus ditolak secara total pada tahun 1881. Kajian kritis bibel (biblical criticism) menghasilkan berbagai metode analisa teks. Para sarjana barat menjadikan berbagai metode bibel tersebut sebagai kerangka dasar untuk membingkai studi al Qur’an. Filsafat hermeneutika yang berkembang dari studi bibel ikut diadopsi oleh beberapa sarjana muslim kontemporer seperti mohammed Arkoun dan Nasr Hamid untuk diserap kedalam studi Al Qur’an. Ini yang menjadi pembahasan pada bab kedua. Bab ketiga akan membahas dan menjawab kritikan para orientalis modern dan kontemporer yang menggunakan metodologi bibel untuk mengkritik al Qur’an. Mereka menyimpulkan al Qur’an mushaf ustmani telah mengalami berbagai tahrif. Oleh sebab itu, al Qur’an edisi kritis diperlukan. Bab keempat akan memaparkan kajian yang dilakukan sarjana yahudi kristen mengenai kosa kata asing didlam Al Qur’an. Mereka memformulasi “teori pengaruh” untuk menyimpulkan muhammad bukanlah seorang yang buta huruf. Muhammad bisa menulis dan membaca. Kesimpulan tersebut dibuat untuk menjustifikasi pendapat sepanjang zaman kalangan Yahudi-Kristen, bahwa al Qur’an adalah karangan Muhammad. Sebagai pengarang al Qur’an, Muhammad mesti mengetahui baca-tulis. Jadi, Muhammad bukan seorang Ummi.

BAB I

Kalangan yahudi-kristen telah lama menghujat al Qur’an. Hal ini bisa dimengerti karena mereka menolak jika al Qur’an meluruskan fondasi agama Yahudi-Kristen. Beberapa pernyataan al Qur’an telah membuat geram dan marah kalangan kristiani. Oleh sebab itu, sejak awal mereka menganggap al Qur’an sama sekali bukan kalam ilahi. Mereka menjadikan bibel sebagai tolak ukur untuk menilai al Qur’an mereka menilai bila isi al Qur’an bertentangan dengan kandungan bibel, maka al Qur’an yang salah. Sebabnya menurut mereka, bibel adalah God’s Word, yang tidak mungkin salah. Karena al Qur’an berani mengkritik dengan sangat tajam kata kata Tuhan di dalam Bibel, maka Al Qur’an bersumber dari setan.
Berikut hujatan hujatan dari kalangan Kristen kepada al Qur’an dari abad ke-8 sampai abad ke-16 M.
1.      Leo III
Salah seorang dari kalangan Kristen termasuk yang paling awal menghujat al Qur’an adalah Leo III, seorang Kaisar Bizantium. Konon ia berpolemik melalui surat menyurat dengan umar bin abdul Aziz yang dikenal juga dengan Umar II, seorang khalifah pada dinasti Umayyah. Namun sebenarnya informasi mengenai terjadinya polemik surat menyurat antara leo III dan Umar II masih sangat diragukan. Naskah yang paling awal memuat kisah tersebut mungkin baru ditulis sekitar akhir abad IX oleh Ghevond-sekitar 180 tahun setelah polemik itu terjadi. Oleh sebab itu beberapa sarjana kristen meragukan kandungan surat menyurat tersebut.
            Namun seandainya pun Leo III memang pernah menulis bahwa al Hajjaj telah mengubah kanonisasi teks Al Qur’an, maka pendapat itupun tidak punya landasan yang kukuh. Pendapat bahwa Al Hajjaj telah mengubah Mushaf Usmani kembali digemakan oleh para orientalis pada abad ke-20.
2.      Johannes dari Damaskus
Sekitar 23 tahun setelah polemik antara Leo III dan Umar II, Johannes menulis dalam bahasa Yunani kuno, tentang sekte sekte bid’ah. Salah satunya Islam, yang merupakan pembahasan paling terakhir dari berbagai macam sekte sekte bid’ah. Ia mengatakan bahwasanya Al Qur’an banyak memuat cerita cerita bodoh. Ia mengemukakan berbagai hujatan terhadap al Qur’an. Sebenarnya, hujatan sinis Johannes kepada Al Qur’an disebabkan kebenciannya kepada Al Qur’an.
3.      Abdul Masih al Kindi
Al Kindi diduga penganut Kristen Nestorian, berpendapat bahwa Muhammad bukanlah seorang Nabi. Dalam pandangannya, seorang nabi itu akan memberitahu peristiwa peristiwa yang tidak diketahui oleh orang lain. Termasuk diantaranya peristiwa peristiwa yang sudah atau yang akan berlaku. Dalam pandangannya, orang Kristen telah mengetahui cerita Muhammad mengenai Nuh, Ibrahim, Musa, Isa. Cerita Muhammad mengenai Ad, Thamud, unta dan gajah adalah cerita cerita bodoh.
Mengenai Al Qur’an, al Kindi berpendapat sergius, seorang biarawan Kristen telah berkunjung ke Mekah, berteman dan mempengaruhi Muhammad. Bahkan sergius hamper menjadikan Muhammad menjadi pengikut Kristen Nestorian. Itulah sebabnya Muhammad membela Nasrani.
4.      Petrus Venerabilis
5.      Ricoldo da Monte Croce
6.      Martin Luther

BAB II

Ketika mengkaji bible secara kritis, para teolog yahudi-Kristen mengakui bible yang selama ii dianggap sebagai textus receptus ternyata memiliki sejumlah kesalahan yang mendasar. Kajian kritis bible tersebut melahirkan banyak metode kritis yagn disebut dengan biblical critism. Dalam perkembangannya, para orientalis menggunakan biblical criticism sebagai kerangka dasar untuk mengkaji al Qur’an. Selain itu beberapa sarjana muslim kontemporer seperti Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid menerapkan juga metodologi bible ke dalam studi perjanjian baru. Tujuannya untuk melacak jejak pemikiran para orientalis modern dalam studi al Qur’an
      Naskah perjanjian baru dalam bahasa Yunani kuno baru pertama kali dicetak pada tahun 1514 di spanyol oleh universitas Alcala. Tapi, naskah perjanjian baru dalam bahasa Yunani Kuno yang pertama kali mendapat sambutan di pasaran adalah edisi naskah yang diterbitkan oleh Deisderius Erasmus dari Rotterdam, Belanda pada tahun 1516. Naskah teks tersebut dijadikan textus receptus dan teks standar hingga tahun 1881.
Perjanjian baru versi Erasmus yang dijadikan textus receptus mendapat kritikan untuk pertama kalinya dari Richard Simon, seorang pendeta perancis,yang dijuluki ‘the father of Biblical Criticism’. Selain simon, John Mill juga menganalisa secara kritis teks perjanjian baru dengan memanfaatkan karya karya Simon. Ia berhasil menerbitkan ‘Novum Testamentum Graecum cum lectionibus variantibus studio et labore, Ludolphus Kusterus’. Kemudian Edward Wells, Richard Bentley, Johan salomo semler, Johann Jakob Griesbach, Johann Gottfried Herder, dan Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, serta Karl Lachmann, dan masih banyak lagi.
Uraian diatas menunjukkan pada abad ke-19 M, textus Receptus perjanjian baru sudah ditolak. Berbagai jenis disiplin ilmiah untuk mengkritik bible telah mapan. Kata kritik ketika dikaitkan dengan perjanjian baru bukan lagi sesuatu yang negative. Makna kata tersebut berubah menjadi sesuatu yang positif.
Para sarjana barat, orientalis dan Islamolog Barat sudah mulai menerapkan biblical criticism ke dalam studi al Qur’an sejak abad ke-19 M. orientalis yang termasuk pelopor awal dalam menggunakan biblical criticism ke dalam al Qur’an adalah Abraham Geiger, seorang Rabbi sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman. Pada tahun 1833, Geiger menulis was hat Mohammed aus dem Judanthume aufgenommen. Orientalis lain yang termasuk awal menerapkan biblical criticism ke dalam studi al Qur’an adalah Gustav Weil, seorang Yahudi Jerman. Dengan menggunakan metode kritis-Historis, Weil pada tahun 1844 menulis Historische Kritische Einletung in der Koran. Kajian yang serius untuk melacak secara kritis asal muasal Al Qur’an dilakukan oleh theodor Noldeke seorang orientalis jerman. Noldeke menulis dalam bahasa latin tentang sejarah Al Qur’an. Ia mendapat gelar doctor ketika ia berusia 20 tahun.
Muhammad Arkoun
Muhammad Arkoun sangat menyayangkan jika sarjana muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Menurut dia, sarjana muslim menolak menggunakan metode ilmiah karena alas an politik dan psikologi. Politis karena mekanisme demokratis yang masih belum berlaku. Psikologis karena pandangan muktazilah mengenai kemakhlukan al Qur’an didalam waktu gagal. Akibat menolak pandangan muktazilah, tulis Mohammed Arkoun, kaum muslimin menganggap bahwa semua halaman yang ada di dalam mushaf adalah kalam ilahi. Al Qur’an yang dibaca, yang diaggap juga sebagai juga sebagai emanasi langsung dari lawh al Mahfudz. Akibat menolak biblical criticism, maka dalam pandangan Mohammed Arkoun, studi al Qur’an sangat ketinggalan disbanding dengan studi bible.
Nashr Hamid
Menurut Mohammed Arkoun, usahanya menerapkan ilmu-ilmu social dalam mengkaji al Qur’an sama dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual asal mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama mesir yang menghakimi Nasr Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid yang mengaplikasikan pendekatan sastra kontemporer memang layak untuk diaplikasikan kepada Al Qur’an. Nasr Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra ketika mengkaji al Qur’an. Dalam pandangannya, metode tersebut merupakan satu satunya metode untuk mengkaji islam. Nasr Hamid juga menerapkan metodologi kritik sastra yang merupakan bagian dari teori teori Hermeneutika. Ia mengenal teori ini ketika berada di universitas Pennsylvania, philadelpia. Ia mengakui hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya.

BAB III
STUDI ORIENTALIS TERHADAP SEJARAH TEKS AL QUR’AN

Dengan menggunakan biblical criticism sebagai frame work untuk mengkaji al Qur’an, maka para sarjana barat menggugat Mushaf Usmani yang selama ini diyakini kebenarannya oleh kaum  muslimin. Dibawah ini akan dikemukakan secara detil bagaimana metode kritis historis yang sudah mapan didalam studi bible diterapkan kedalam studi al Qur’an.
1.     Al Qur’an 
Diantara kajian utama yang dilakukan oleh para sarjana barat ketika mengkaji al Qur’an adalah mengenai sejarahnya. Salah seorang tokoh dalam studi kritis sejarah Al Qur’an adalah Arthur Jeffery, seorang tokoh orientalis berasal dari Australia. Menurut Jeffery, tidak ada yang istimewa mengenai sejarah Al Qur’an. Sejarahnya sama saja dengan sejarah kitab kitab suci lain. Al qur’an menjadi teks standard an dainggap suci, padahal sebenarnya ia telah melalui beberapa tahap. Dalam pandangan Jeffery, sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan masyarakat. Tindakan komunitas masing masing agama. Yang menjadikan sebuah kitab itu suci.
2.      Al Qur’an pada zaman Rasulullah SAW.
Salah seorang orientalis yang termasuk paling awal menyatakan bahwa Muhammad tidak punya niat untuk menghimpun materi wahyu adalah Aloys Sprenger. Menurut Sprenger Muhammad sebagai penyampai al Qur’an untuk orang yang buta huruf bukan utnuk ditulis diatas kertas. Senada dengan pendapat Sprenger, Hartwig Hirshfeld, seorang orientalis Yahudi berpendapat ketika maut mendekatinya, Muhammad tidak berusaha untuk menghimpun materi wahyu ke dalam sebuah buku. Dalam pandangan Hirshfeld, tidak dihimpunnya materi wahyu itu bukan karena Muhammad sudah terlebih dahulu wafat, namun memang karena Muhammad tidak ingin menghimpunnya ke dalam sebuah Mushaf. Selain itu, Muhammad tidak menghimpun al Qur’an menjadi sebuah mushaf supaya Muhammad bebas untuk merubah ayat ayat yang tidak sesuai lagi dengan keadaan. Muhammad lebih suka para muridnya untuk menghafal materi wahyu tersebut. Hal ini juga dikemukakan oleh Jeffery.
3.      Al Qur’an pada zaman Abu Bakar dan Umar.
Beberapa orientalis menolak bahwa Al Qur’an telah dihimpun pada zaman abu bakr.
4.      Mushaf mushaf pra Utsmani
Jeffery memperkenalkan istilah baru, yaitu mushaf mushaf tandingan. Menurutnya ada 15 mushaf primeer dan 13 mushaf sekunder. Ia mencoba mengeksplorasi kandungan berbagai mushaf tandingan tersebut. Ia mengedit manuskrip kitab al Masahif dan meneliti berbagai literature lainnya untuk melengkapi isi berbagai mushaf tersebut. Setelah itu ia menyusun muatan atau isi mushaf tandingan. Menurut Jeffery, banyaknya mushaf pra utsmani menunjukkan bahwa pilihan Uthman terhadap tradisi teks medinah tidak berarti pilihan terbaik. Diantara mushaf pra utsmani yaitu mushaf Abdullah bin Mas’ud, Mushaf Ubay ibn Ka’b, Mushaf ali ibn Thalib.
5.      Al Qur’an pada zaman Uthman
Mengomentari kanonisasi yang terjadi pada zaman uthman, pada umumnya para orientalis menyalahkan tindakan uthman yang menutup perbedaan. Menurut Jeffery, sebenarnya terdapat beragam mushaf yang beredar di berbagai wilayah kekuasaan islam. Mushaf mushaf tersebut berbeda dengan mushaf uthman. Jadi, ketika mushaf uthmani dijadikan satu teks standart yang resmi dan digunakan diseluruh wilayah kekuasaan islam, maka kanonisasi tersebut tidak terlepas dari alasan alasan politis.
            Tafsiran Jeffery bahwa uthman meraih keuntungan politis dengan menjadikan mushaf uthman sebagai teks standard tidaklah tepat. Uthman ra. Melakukan satandarisasi teks karena menghindari  berbagai kesalahan yang akan terjadi pada al Qur’an factor utama yang mendorong uthman untuk melakukan kompilasi bermula ketika hudhaifah bin al Yaman menyaksikan perbedaan qira’ah yang sangat tajam dikalangan para tentara yan sedang berperang di Armenia dan Azerbeijan. Menyaksikan hal tersebut, hudhaifah ibn al Yaman bergegas ke madinah untuk menyampaikan masalah tersebut kepada Uthman bin al Affan. Jadi, motivasi utama adalah meluruskan kesalahan yang terjadi dan akan terjadi kepada kitab Allah, sma sekali bukan politis. Kompilasi ini dilakukan supaya tidak terjadi kesalahan sebagaimana yang telah terjadi pada sejarah kitab suci agama yahudi dan Kristen.
            Setelah mengungkapkan problema sejarah Al  Qur’an, Jeffery ingin mengedit Al Qur’an. Dalam pandangannya, al Qur’an memiliki banyak kelemahan. Ia ingin menyusun sebuah Al Qur’an dengan bentuk baru. Al Qur’an dengan bentuk baru inilah Al Qur’an edisi kritis. Dalam pemikirannya, format al Qur’an edisi kritis. Dalam pikiran Jeffery, format Al Qur’an edisi kritis tersebut memiliki empat jilid. Jilid pertama, mencetak teks Hafs yang diklaim sebagai textus receptus. Teks tersebut akan direkonstruksi menurut sumber sumber terlama, yang berkaitan dengan tradisi Hafs. Teks tersebut akan dicetak menurut nomor ayat flugel. Referensi yang relevan akan dicantumkan di pinggir halaman tersebut beserta apparatus criticus pada catatan kaki setiap halaman. Segala varian bacaan dari buku buku tafsir, kamus, hadits, teologis, filologis, dan bahkan dari buku buku Adab, akan dihimpun. Setelah itu, diberi berbagai symbol, yang menunjukkan nama para Qurra’ yang dikutip untuk setiap varian. Ini akan menunjukkan apakah para Qurra’ yang dikutip lebih dahulu atau lebih belakangan dibanding dengan qira’ah sab’ah. Jilid kedua akan diisi dengan pengenalan, untuk para pembaca bahasa inggris. Edisi ini dalam bahasa jerman sudah tersedia dalam edisi kedua karya Noldeke Geschichte des Qorans. Jilid ketiga akan dilengkapi dengan anotasi anotasi, yang pada dasarnya merupakan komentar terhadap apparatus criticus. Jilid keempat berisi kamus al Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar